Setelah tulisan ini beberapa minggu mangkrak karena saya sibuk dengan berbagai
aktifitas, akhirnya saya ada waktu untuk lanjutkan tulisan reportasi saya tentang
taman sari Yogyakarta.
Gapura Panggung
Saat kita masuk di kompleks ini, kita akan ketemu gapura yang
namanya Gapura Panggung. Gapura ini terdapat ukiran dan terdapat tangga untuk
naik ke atas. Dulunya dari tempat ketinggian ini sultan memantau masyarakat
dalam keraton dan menyaksikan tarian selamat datang.
Dibawahnya ada empat bangunan yang berdiri berdampingan, nama
empat bangunan ini adalah Gedong Sekawan yang artinya bangunan empat. Dulunya gedong
sekawan ini dipakai oleh para pengawal sultan beristirahat, mereka duduk-duduk
sambil tetap bersiaga menjaga keamanan sultan. Masing-masing bangunan berbentuk
persegi panjang yang berukuran 5,5 x 6,5 meter dengan tinggi keseluruhan 5
meter.
Inilah view saat berada di atas Gapura Panggung, bangunan dibawahnya itu adalah Gedong Sekawan |
Umbul Binangun Yang Eksotis
Nah saatnya kita masuk dalam bangunan utamanya yang bernama Umbul
Binangun, kita masuk lewat pintu yang bernama Gerbang Kenari. Aslinya gerbang
kenari ini dan Gapura Panggung adalah bagian belakang dari kompleks pemandian
Umbul Binangun. Tetapi saat ini Gapura Panggung menjadi pintu masuk utama
wisatawan.
Pintu Gerbang Kenari yang
rendah memiliki makna bahwa saat sultan memasuki kawasan ini harus senantiasa
untuk rendah hati. Dari sini ada beberapa anak tangga menurun dan sudah tampak
bagian keindahan tempat pemandian Taman Sari. Kebayang ya keindahan dan
keasrian tempat ini diwaktu lampau.
Meskipun area kolam pemandian ini hanya untuk kalangan keluarga
kerajaan saja, tetapi mereka tetap tidak di perkenankan mandi bersama antar
pria dan wanita. Untuk itu kolam pemandian dalam bangunan ini ada tiga bagian.
Bagian pertama untuk keluarga sultan yang pria. Sedangkan kolam yang tengah
untuk pemandian keluarga yang wanita. Dan kolam yang ketiga terpisah dari kolam
pertama dan kedua. Kolam ketiga ini dipisahkan oleh bangunan yang memiliki
menara kecil yang tingginya mencapai tiga lantai. Di lantai kedua dan ketiga
menara ini terdapat jendela disisi utara dan timur. Jendela timur untuk sultan
melihat pemandangan kolam pertama dan kedua, dan sisi utara untuk sultan
melihat pemandangan kolam ke tiga. Kalau kamu berkesempatan masuk ke sini
hati-hati ya, tangga untuk naiknya curam.
Kolam ketiga yang terpisah ini begitu istimewa, karena yang mandi
di kolam ini hanya khusus untuk Sultan dan para istri atau selirnya. Dalam
bangunan ada menaranya ini juga ada ruangan khusus para istri atau selir untuk
berdandan. Tersedia semacam wadah air yang disediakan disana, karena saat itu
belum ada cermin, jadi para istri atau selir “bercermin” dengan pantulan air
dalam bejana itu.
Dalam bangunan yang sama ada juga ruangan seperti bale berukuran
cukup besar yang dibawahnya terdapat lubang untuk pembakaran, menurut bapak guiede
yang menuntun kami, ruangan ini dahulu beraroma wangi-wangian dan bersuhu
hangat yang panasnya berasal dari pembakaran di bawah bale, jadi sepertinya
ruangan ini untuk sauna. Waw..
Ini bangunan yang ada menara itu, bangunan ini yang memisahkan kolam ke tiga |
Ini kolam pemandian ke tiga, disini VVIP di jamannya.. :) |
Perjalanan dilanjutkan ke Masjid Bawah tanah Sumur Gumuling,
tetapi kita sempat melihat bangunan berukir yang cukup mencolok, bernama Gapura
Umbulsari. Gapura ini dulunya adalah gerbang menuju Ledoksari, Gedong Blawong,
Taman Umbulsari dan sekitarnya. Sayangnya lokasi yang tersebut itu sudah tidak
dapat terlihat, beralih fungsi menjadi pemukiman penduduk. Jadi kita hanya bisa
melihat gapurannya saja, dalam gapura
ini hanya terdiri dari dua buah ruangan, yang dulunya ini merupakan tempat
pengawal penjaga keraton menjaga kompleks keraton.
Gapura Umbulsari |
Masjid Bawah Tanah Kerajaan Mataram
Kemudian perjalanan kami berlanjut ke masjid bawah tanah Sumur
Gumuling dengan berjalan kaki beberapa puluh meter dari kompleks pemandian
tadi. Kami melewati perumahan penduduk yang dinamakan ‘Kampung Cyber’ tadi. Terik
matahari bulan April membuat Yogyakarta terasa “Puanase Pooll”.. Jadi jangan
lupa untuk membawa payung untuk berlindung dari sinar matahari yang cukup
menyengat.
Akhirnya kami sampai pada pintu masuk jalan menuju masjid bawah
tanah Sumur Gumuling, pintu masuknya berupa anak tangga menurun menuju ke bawah tanah.
Nah disini ada penjaga tiket lagi, mereka akan menanyakan tiket masuk Taman
Sari yang sudah kami beli di depan tadi. Nah rupanya banyak pengunjung yang tidak
menjaga dengan baik tiket masuk yang mereka beli di pintu masuk tadi. Mungkin
karena Masjid Sumur Gumuling letaknya terpisah dan melewati perkampungan
penduduk dianggap perjalanan wisata sudah selesai. Padahal sebenarnya Masjid
Sumur Gumuling masih satu satu area wisata Taman Sari. Karena pengunjung yang
tidak dapat menunjukkan tiket masuk, maka mereka tidak dapat masuk ke dalam masjid
bawah tanah ini. Sayang sekali..
Jalur yang konon menuju pantai selatan. |
Belasan anak tangga sudah kami lewati, hawa dalam terowongan bawah tanah ini tetap segar dan lebih sejuk, sengatan matahari sejenak terlupakan. Langit-langit terowongan ini menyerupai kubah, jadi agak rendah pada sisi kiri-kanannya dan tinggi di sisi tengahnya. Dan terdapat parit kecil di samping kiri-kanan. Terowongan ini bercabang, satu kearah masjid dan satunya kearah yang konon diperuntukan sebagai jalur pelarian bila sewaktu-waktu kerajaan di serang musuh. Dan akhir jalur perlarian ini menuju pantai selatan, tetapi terowongan yang menuju pantai selatan ini sudah di tutup. Jadi kita hanya bisa kearah masjid saja.
Masjid Yang Unik
Masjid yang posisinya dibawah tanah ini berbentuk bulat seperti
cincin dengan atap terbuka. Dengan dinding berwarna coklat muda dan terlihat
sangat kokoh. Tebalnya saja hampir 1,25 meter karena masjid ini juga difungsikan
sebagai perlindungan bawah tanah. Masjid ini terdiri dari dua lantai, lantai
pertama di peruntukkan jamaah wanita dan lantai dua diperuntukkan jamaah pria.
Masing-masing lantai juga memiliki mihrab. Lantai pertama dan kedua mengitari sebuah
tempat yang cukup unik, yaitu sebuah panggung kecil yang berdiri di
tengah-tengah masjid yang dapat di akses berupa tangga dari lantai satu dan
lantai dua. Jumlah tangga menuju panggung kecil itu berjumlah lima yang
melambangkan jumlah rukun Islam. Panggung ini difungsikan sebagai mimbar saat
muadzin melantunkan Adzan ataupun saat ceramah. Dan dibawah panggung kecil ini
terdapat kolam dari sumur gumuling yang airnya juga di pakai jamaah untuk mengambil
wudlu.
Masjid ini dirancang dengan arsitektur sedemikian rupa, sehingga lantunan
suara imam saat memimpin Shalat berjamaah ataupun penceramah tetap terdengar
dengan jelas, karena suaranya terpantul melalui dinding-dindingnya hingga
seluruh jamaah dilantai satu maupun lantai dua dapat mendengarnya. Nggak perlu
speaker ya..
Masjid ini dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun
1765. Diwaktu yang hampir bersamaan Sri Sultan juga melakukan pembangunan Masjid
Gede Kauman pada tahun 1773 yang berlokasi sebelah barat Alun-alun utara. Menurut
guide yang mengantar kami, masjid Sumur Gemuling tetap berfungsi sampai era Sri
Sultan HB II dan mulai tidak di fungsikan sebagai masjid sekitar tahun 1812
karena beberapa alasan, mungkin karena kondisi politik keraton Yogyakarta pada
saat itu ataupun kondisi alam seperti terjadinya gempa besar yang pernah menimpa
Yogyakarta. Tetapi Masjid Gede Kauman masih terus difungsikan dan bisa kita
pakai sampai dengan hari ini.
Masjid bawah tanah Sumur Gumuling ini mengakhiri perjalanan kami ke
kompleks wisata Taman Sari Yogyakarta kali ini. Kompleks pemandian Taman Sari dan
masjid bawah tanah Sumur Gumuling ini tempat ini selalu penuh dengan pengunjung
untuk berfoto selfie ataupun sebagai tempat pre wedding. Karena memang arsitekturnya
eksotis banget.
Ada beberapa kisah dari guide di kompleks pemandian yang saya
tidak saya tulis disini, karena untuk konsumsi dewasa J. Tetapi secara keseluruhan, mengunjungi langsung dua lokasi dalam
satu kompleks ini seperti melihat secara langsung tentang gambaran tiga naluri
(gharizah) manusia, yaitu naluri mempertahankan
diri (gharizatul baqo’), naluri berketurunan (gharizatul na’u)
dan naluri berketuhanan (gharizatul tadayun).
Gimana, jangan lewatkan tempat satu ini kalau berkunjung ke Yogya
ya..
Komentar
Posting Komentar